Satu Tahun Satu Qanun

DAMAI Aceh bukan saja telah mengubah situasi dan kondisi kehidupan sosial masyarakat Aceh secara keseluruhan, tetapi juga telah melahirkan dinamika politik yang baru. Bukan hanya pada ranah eksekutif tetapi juga terasa pada ranah representatif rakyat di parlemen. Melalui Pemilu yang diselenggarakan pada 9 April 2009 lalu, parlemen tingkat provinsi yakni Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2009-2014 juga telah terpilih. Mereka adalah wakil-wakil yang dipercayakan oleh rakyat untuk mengemban tugas dalam kurun lima tahun mendatang sejak pelantikan. Para wakil rakyat telah bekerja selama setahun sejak pelantikan pada tanggal 30 September 2010. Tentu, publik berharap agar representatif mereka jauh lebih baik dari parlemen sebelumnya. DPRA yang baru, diharapkan mampu mengemban tugas dengan baik, menjalankan fungisnya secara optimal. Karenanya, momentum setahun DPRA yang baru adalah momentum yang baik untuk mereview kinerja DPRA dalam upaya pemenuhan harapan rakyat itu. Karena rakyat menantikan agar optimalisasi tiga parlemen yakni fungsi legislasi, anggaran (budgeting) dan pengawasan (monitoring), mampu menjadikan damai di Aceh sebagai semangat, komitmen, dan rasa tanggungjawab mensejahterakan rakyat Aceh.

Di sisi lain, rakyat tetap “mencatat” apa yang terjadi selama setahun ini. Dinamika politik yang dipertontonkan, baik yang berelasi dengan eksekutif secara langsung, maupun tataran internal, bahkan dengan pihak lainnya tetap menjadi catatan penting bagi pembangunan politik di Aceh. Dalam konteks pemenuhan hak-hak dasar rakyat, parlemen diharapkan mampu menghasilan produk hukum yang berpihak kepada rakyat, anggaran pro rakyat yang adil antar-wilayah, dan kontrol parlemen yang efektif atas kinerja eksekutif.

Ada dua agenda besar DPRA saat ini. Pertama, mandat pembangunan yang telah digulirkan selama kurun waktu yang panjang yang belum menuai hasil yang memuaskan bagi rakyat, kesenjangan pembangunan yang begitu terasa. Kedua, mandat melanggengkan perdamaian melalui agenda pembangunan yang mensejahterakan. Dengan demikian, kita menyadari benar, dalam proses perjalanan setiap anggota DPRA dan dalam proses pengabdiaan bagi rakyat Aceh tentunya akan menemukan “kerikil” yang dapat menyebabkan perjalanan selama empat tahun kedepan, terasa sakit. Selama setahun masa kerja anggota DPRA, ada beberapa catatan penting yang kiranya menjadi refleksi bagi semua pihak terutama wakil kita di parlemen. Pada hari prosesi pelantikan anggota DPRA kalangan mahasiswa Aceh telah “menitip pesan” melalui aksi demonstrasi di berbagai tempat termasuk di gedung DPRA agar mereka terus tanggap dengan kepentingan masyarakat dan tidak mengedapankan kepentingan pribadi dan golongan. Catatan lainnya, meski sudah setahun anggota DPRA menjabat. Posisi kursi Wakil Ketua III DPRA masih belum terisi, tidak jelasnya aturan dan kepastian hukum itu telah menyebabkan tidak lengkapnya alat kelengkapan dewan. Polemik ini bukan tanpa alasan, karena ada pemahaman antara UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh dengan aturan UU No. 27 Tahun 2009 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Jika kembali melihat aturan pelantikan pimpinan DPRA, pada saat itu aturan yang dipergunakan adalah Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009. Ini menjadi catatan paling besar bagi DPRA untuk diselesaikan tanpa mementingkan kepentingan golongan, mungkinkah? Selama setahun anggota DPRA bekerja, ada 21 Rancangan Qanun yang menjadi Prioritas pada tahun 2010. Namun, hanya ada satu Qanun yang selesai disahkan yakni Qanun APBA Tahun Anggaran 2010, meskipun qanun tersebut tidak termasuk dalam daftar 21 Rancangan Qanun Prioritas 2010. Alhasil, dalam satu tahun itu mereka hanya menyelesaikan satu qanun yang juga bukan prioritas alias sama sekali belum ada qanun yang disahkan. Seringnya kunjungan kerja para wakil rakyat tanpa ada perubahan yang signifikan terutama kinerja dalam proses penyusunan qanun. Seharusnya hasil “pembelajaran” ke luar daerah tersebut dapat menelurkan qanun atau regulasi. Jika seandainya kunker itu hanya sekadar untuk refreshing, alangkah lebih arif jika anggaran tersebut digulirkan untuk kepentingan rakyat yang manfaatnya akan lebih terasa. Kerja selama satu tahun anggota DPR Aceh juga menyisahakn persoalan lain, penandatangan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Plafon Prioritas Aggaran Sementara (PPAS) Tahun 2011 meleset dari jadwal semestinya. Seharusnya, seperti yang diatur dalam Pasal 87 Permendagri No. 59 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, ayat 3 menerangkan bahwa Rancangan KUA dan Rancangan PPAS yang telah dibahas, selanjutnya disepakati menjadi KUA dan PPAS paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan. Namun, hingga akhir September 2010 atau setahun masa bakti Anggota DPRA belum juga ada titik terang jadwal penandatangan nota kesepatan KUA dan PPAS 2011 antara Pemerintah Aceh dan DPRA. Ini seharusnya menjadi catatan besar, agar proses penyusunan RAPBA 2011 tidak molor seperti tahun-tahun sebelumnya dengan alasan klasik serta saling menyalahkan. Empat tahun ke depan, kita berharap agar momentum perdamaian ini bisa dimanfaatkan dengan baik oleh anggota DPRA dalam pengawasan program Pemerintah Aceh yang telah dianggarkan dalam APBA. Karena pepatah tua selalu mengatakan, pengalaman adalah guru yang sangat berharga. Seharusnya kegagalan kinerja anggota dewan terhormat pada dua periode sebelumnya dapat menjadi pembelajaran penting bagi parlemen saat ini. Konon lagi sekarang sebagian besar diantaranya adalah “para pejuang”, yang kini harus mengubah pola perjuangan itu. Rakyat tentu tidak mengharapkan sejarah kegagalan berulang terus-menerus di Provinsi Aceh tercinta. Agar impian “perubahan fundamental” itu dapat terukir dalam sejarah baru untuk Aceh. Apalagi anggaran yang diterima oleh DPRA setiap tahunnya dari tahun 2007 hingga 2010 terus meningkat.

Oleh Isra Safril*
* Penulis adalah kepala Divisi Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik GeRAK Aceh. http://www.serambinews.com/news/view/39742/satu-tahun-satu-qanu