GeRAK Aceh: Cabut Izin Operasi Tambang

BANDA ACEH – Kepala Divisi Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung mengatakan, pemberian izin eksploitasi untuk sejumlah perusahaan di Manggamat dan sekitarnya, di Aceh Selatan, diduga melanggar hukum. Oleh karena itu, Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh meminta pemerintah mencabut izin operasi perusahaan tambang dan industri primer hasil hutan tersebut.
Menurut GeRAK Aceh, dengan kemiringan areal lebih besar dari 40 derajat, maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 38, sebetulnya kayu kawasan tersebut tidak boleh ditebang. “Daya dukung lingkungan sangat tidak memadai untuk beroperasi perusahaan tambang dan kayu. Oleh karenanya, GeRAK Aceh meminta pemerintah untuk segera mencabut izin operasi perusahaan tersebut,” kata Hayatuddin menanggapi Laporan Eksklusif Serambi Indonesia edisi Senin (22/5) berjudul “Mananti ‘Kiamat’ di Manggamat”.
Menurut Hayatuddin, jika mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.91/menhut-II/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu yang Berasal dari Hutan Negara juncto P.27/MenLHK-Setjen/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.91/Menhut-Ii/2014 tentang Penatausahaan Hasil Hutan Bukan Kayu yang Berasal dari Hutan Negara, maka dalam kasus pemberian Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK) Jenis Sawmill kepada PT Islan Gencana Utama di Aceh Selatan patut diduga melanggar hukum.
“Lokasi surat izin usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang diusulkan sebagai lokasi kegiatan sebelumnya dikuasai oleh PT MMU dan PT BMU. Berdasarkan hasil investigasi lapangan ditemukan bahwa usulan kegiatan untuk izin industri kayu patut diduga ada kepentingan ekonomi tertentu yang dapat merugikan perekonomian negara. Akibat kegiatan ini dapat merusak fungsi hutan dan kerusakan lingkungan secara terus-menerus dan menimbulkan efek kerusakan yang luar biasa terutama menyebabkan banjir bandang,” kata Hayatuddin.
Ia tambahkan, praktik ini juga melanggar ketentuan sebagaimana termaktub dalam PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan bagian kedelapan tentang hak dan kewajiban pemegang izin pemanfaatan hutan pasal 73 ayat (1, 2, 3) serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 3 Tahun 2008 yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2014 tentang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan.
Tumpang tindih izin, kata Hayatuddin, dilatarbelakangi oleh indikasi bahwa kepemilikan terhadap PT MMU dan PT BMU serta PT Islan Gencana Utama dimiliki oleh orang yang sama, dengan modus menempatkan pihak lain sebagai pemilik perusahaan.
Cara ini, menurutnya, dilaksanakan untuk mengelabui para pihak dalam mengurus izin dan menimbulkan celah adanya peraturan yang dilanggar secara langsung. “Pemberian izin diduga melanggar hukum dan patut diduga adanya conflict of interest antara perusahaan yang sudah mengantongi izin IUP tambang dengan perusahaan yang mengurus izin pemanfaatan kayu,” katanya.
Berdasarkan argumentasi hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan dan mekanisme pelaksanaan kegiatan PT Islan Gencana Utama diduga melanggar Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Berdasarkan hasil investigasi, juga diketahui bahwa perusahaan ini belum memiliki izin lingkungan hidup (UKL-UPL atau Amdal),” tutur Hayatuddin. (sak)

(sumber : http://aceh.tribunnews.com/2017/05/23/gerak-aceh-cabut-izin-operasi-tambang)