Antara Budaya Malu dan Pemiskinan Koruptor

Korupsi adalah tindakan (siapa saja) mengambil sumber daya (dalam bentuk uang atau materi lain) yang menjadi hak publik. Perilaku korupsi berkembang bak jamur di musim penghujan. Jika masyarakat tidak memiliki aturan jelas antara kepemilikan pribadi dengan kepemilikan publik, serta tidak ada sanksi tegas dan berat bagi pelanggarnya maka peluang korupsi lebih gampang dilakukan. Konon lingkungannya dari kalangan pemegang kekuasaan; elit politik maupun elit birokrasi pemerintahan.

Korupsi atau rasuah berasal dari bahasa latin: coruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk. Istilah lain yang sering dipakai adalah tindakan pejabat publik; politisi maupun pegawai negeri, pihak yang terlibat tindakan kurang wajar, tidak legal, menyalahgunakan kepercayaan publik untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Di Indonesia dominasi korupsi sangat tinggi. Hal paling dominan adalah gejala korupsi politis yaitu penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Kategori korupsi ini bisa sepele atau berat, terorganisir atau tidak. Fakta terbaru adalah munculnya kasus “papa minta saham”. Korupsi model seperti itu dirancang terstruktur oleh pengambil kebijakan dengan tujuan mendapatkan rente ilegal seperti kasus ketua DPR-RI, yang kemudian kandas setelah digelarnya sidang etik di MKD.

Dalam kontek lokal Aceh, korupsi di negeri Syariat Islam ini kian menggurita, masif dan gamblang dalam setiap demensi tatakelola pemerintahan mulai dari korupsi anggaran, kebijakan, bahkan korupsi politis. Fenomena ini seiring adanya perubahan dan mindsetpejabat publik dalam mengelola anggaran daerah, salah satu asumsi yang sering dipakai adalah kesempatan melakukan praktik culas untuk mencari keuntungan dan memperkaya diri. Maka tidak heran jika potensi tindak pidana korupsi di Aceh terus meningkat menyusul bertambahnya anggaran yang dikelola pemerintah setiap tahunnya.

Beberapa kasus korupsi yang ditangani institusi penegak hukum adalah kasus korupsi dengan nilai potensi luar biasa. Contohnya kasus pengadaan kapal boat 40 GT untuk mantan kombatan GAM. Potensi kerugian negara dalam kasus ini mencapai 97 miliar. Konon dari program ini tidak ada satupun kapal yang dapat dipakai untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemudian pengadaan Traktor 4 WD untuk kelompok masyarakat dengan potensi korupsi 39 miliar, dana Bansos dan hibah untuk Komisi Peralihan Aceh (KPA) dengan jumlah dana yang dikelola mencapai 650 miliar.

Kasus terbaru adalah dugaan korupsi pembangunan meuligo Wali Nanggroe yang anggaranya mencapai 100 miliar. Tapi, dalam pelaksanaanya, fisik bangunan tidak sesuai dengan jumlah anggaran yang digelontorkan. Bahkan, bangunan berkelas ini tidak memberikan satu gambaran bahwa meuligo ini kelak akan menjadi contoh konstruksi terbaik di era otonomi khusus Aceh.

Budaya Malu dan Pemiskinan Koruptor

Perilaku dan fenomena korupsi di Aceh berbanding terbalik dengan upaya pencegahan yang dirintis para penggambil kebijakan. Praktiknya belum mendapat perhatian serius. Andai pemerintah Aceh berhasil menekan gejala korupsi maka dipastikan upaya peningkatan kesejahteraan publik juga meningkat. Karena itu, dalam rangka mendorong upaya penekanan terhadap perilaku kejahatan korupsi, maka budaya malu dan penerapan pola pemiskinan harus menjadi contoh dan prakarsa yang ditumbuhkan secara kuat. Sehingga gerakan ini akan menjadi model alternatif yang baik bagi Aceh.

Dalam demensi sosial, para koruptor masih mendapat tempat layak di sisi kehidupan sosialnya. Lihat saja beberapa terdakwa korupsi yang sudah divonis oleh pengadilan masih saja leluasa menjadi tokoh dan dielu-elukan. Bahkan dari mereka masih dipercaya sebagai pemangku kepentingan kebijakan baik dalam mengelola anggaran maupun tokoh sentral pemerintahan. Inilah tantangan terbesar dalam mendorong efektivitas penerapan prinsip budaya malu dan pemiskinan dalam gerakan anti korupsi di Aceh.

Sejatinya, pihak-pihak yang telah tersandera dengan kasus korupsi serta divonis secara hukum, tidak diberi jabatan sosial di lingkungan masyarakat. Jika perlu dikucilkan dari lingkungannya.

Jika “gerakan” ini berjalan efektif maka orang akan enggan melakukan praktik tercela itu. Sanksi sosial ini lebih ditakuti dari pada sanksi penjara yang mudah “dipermainkan” oleh orang-orang berduit. Apalagi kinerja institusi hukum di Indonesia masih mudah dirasuki perilaku korupsi.

Selain sanksi sosial, komisi pemberantasan korupsi (KPK) sudah mengenalkan hukuman pemiskinan terhadap koruptor. Ini menjadi salah satu efek jera yang terbukti jitu dan berdampak luar biasa. Bahkan bisa menjadi “nyala api” bagi pihak lain bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus diberantas dengan cara-cara luar biasa pula.

Gerakan budaya malu menjadi koruptor dan pemiskinan koruptor harus juga mendapat tempat di publik Aceh. Jika konsep kedua berjalan efektif maka dipastikan Aceh sebagai wilayah berdaulat dan beragama akan makmur sejahtera. Semakin sempit ruang gerak koruptor maka semakin tinggi peluang daerah ini terbebas dari korupsi.

Aceh harus berubah. Ini harapan publik! Jika gerakan budaya malu dan pemiskinan koruptor ini terlaksana maka Aceh akan menjadi daerah pertama di indonesia yang menerapkan prinsip ini. Pemerintah Aceh harus berani menonaktifkan atau memberhentikan penuh pejabat yang menyandang status tersangka korupsi. Agar ini menjadi pecut menakutkan bagi pejabat yang bermental korup demi menyelamatkan uang Aceh dan generasi berikutnya. Semoga!